PCIM Turki - Persyarikatan Muhammadiyah

 PCIM Turki
.: Home > Artikel

Homepage

Opini 1 | Islam Progresif sebagai Wacana Baru Penangkal Islamophobia (bag. 1)

.: Home > Artikel > Pimpinan Pusat
29 Maret 2019 02:44 WIB
Dibaca: 1336
Penulis : J. Ramadhan, M.Si (Mahasiswa Doktoral - Uludağ University)

Kemunculan istilah “Islamophobia” pertama kali pada diskursus kontemporer ketika Runnymede Trust – sebuah LSM pemerhati relasi antar ras di Inggris – mempublikasikan laporan mereka di tahun 1997 dengan judul Islamophobia: A Challenge for Us All. Islamophobia dideskripsikan sebagai sebuah sentimen ketidaksukaan atau bahkan kebencian terhadap Islam yang diekspresikan dengan ketakutan dan keengganan kepada komunitas Muslim.  Begitu juga dengan tradisi Islam yang dianggap sebagai hambatan, rintangan serta halangan untuk modernisasi dan westernisasi. Tradisi Islam yang sudah bermula sejak abad ke-7 ini dianggap tidak bisa mengikuti perkembangan era seiring orientasi pemikiran kebanyakan muslim yang close-minded atau dianggap konservatif. Sebaliknya, Islam merupakan pioner dari sains modern dan cahaya bagi Eropa ketika masih berada dalam dark ages di abad ke-16 dengan mengadopsi karya-karya ilmiah dari cendikiawan seperti Ibnu Rusdi (Averroes) dan Ibnu Sina (Avicenna). Namun, peradaban Islam seakan memudar ketika berdirinya Republik Turki pada tahun 1923 meski kemunduran tersebut sudah mulai terasa sejak 1917 setelah Kekhilafahan Utsmani kalah dalam Perang Dunia I.

 

Erik Bleich mengatakan bahwa Islamophobia telah mengakar di publik, politik dan diskursus akademik bahkan mencoba untuk memberikan label pada realitas sosial masyarakat yang hidup dalam iklim demokrasi liberal kontemporer. Islamophobia menjadikan muslim sebagai objek dari aversion (ketidaksukaan), fear (ketakutan) dan hostility (permusuhan). Pada kondisi sosial, masyarakat umum merasa insecure (tidak aman) berada di sekitar muslim yang menggunakan atribut seperti hijab dan taqiya atau bahkan jenggot yang sengaja dibiarkan tumbuh. Lebih jauh lagi, relasi sosial menciptakan senjang antara komunitas muslim dengan komunitas non-muslim sehingga terjadi marjinalisasi dalam aspek multi-dimensi. Kondisi ini mencapai puncaknya ketika adanya klaim bahwa Al-Qaeda melakukan serangan terhadap menara kembar World Trade Center di New York, Amerika Serikat (AS) pada 11 September 2001. Media massa di berbagai belahan dunia memberitakan kejadian tersebut dengan masif dan sporadis lalu diperburuk dengan framing dan stereotype negatif terhadap Islam dan penganut agamanya. Kondisi ini menghadirkan imaginary yang negatif dalam alam pikir banyak orang ketika mendengar kata Islam atau apapun atribut yang mengkaitkannya dengan agama Islam.

 

Sebagaimana Federal Bureau of Investigation (FBI) melaporkan terjadi peningkatan sekitar 1.700 persen hate crime terhadap muslim Amerika dan imigran yang harus mengalami negative stereotype yang ditunjukkan oleh masyarakat umum. Diskriminasi tidak terjadi seketika, namun telah ada sejak sebelum tragedi 9/11 terjadi, namun menjadi lebih buruk sejak serangan tersebut. Publik melakukan generalisasi terhadap seluruh muslim dengan menunjukkan sikap kasar dan murka seakan mereka memandang rendah atas eksistensi Islam sebagai agama yang memperbolehkan pertumpahan darah atas nama Tuhan. Stereotip semacam ini mengesahkan tindakan gangguan verbal dan fisik terhadap anggota komunitas muslim, serta menciptakan label setiap muslim adalah teroris, lebih spesifik lagi muslim yang taat terhadap hukum syariah adalah mereka yang dicurigai.

 

Akibat dari tragedi 11 September dilihat sebagai puncak dari proses labelisasi muslim ketika “war on terrorism” Amerika Serikat di bawah administrasi Bush Jr.'s berekspansi secara global bersama counter-terrorism operations dan populer dengan kebijakan “pre-emptive strike against the axis of evil”. Seiring berjalannya waktu, komunitas muslim di berbagai belahan dunia turut merasakan tekanan yang berat dalam politik dan sosial. Hal ini juga dirasakan negara Islam dan negara dengan mayoritas penduduk muslim yang seakan harus mengikuti kebijakan Amerika Serikat. Di satu sisi, pendukung kebijakan tersebut akan mendapatkan berbagai kemudahan dari AS, termasuk untuk military capacity-building. Di sisi lain, jika negara tersebut memilih netral (tidak mengambil sikap) atau menentang, mereka diancam dengan konsekuensi sebagai oposisi. Tekanan politik seperti ini sangat mempengaruhi psikis muslim hingga ke akar rumput yang secara sistematis termarjinalisasi oleh lingkungan sosialnya. Tidak hanya muslim yang terpengaruh, non-muslim pun turut terpengaruh sehingga memunculkan kejadian-kejadian yang ekstrim di berbagai belahan dunia. Bersambung. []


Tags: islamophobia , islam , progresif
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori : Opini

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website