PCIM Turki - Persyarikatan Muhammadiyah

 PCIM Turki
.: Home > Artikel

Homepage

Opini 5 | Mengembalikan Kejayaan Politik Islam (bag. 2)

.: Home > Artikel > Pimpinan Pusat
25 April 2019 20:39 WIB
Dibaca: 1494
Penulis : J. Ramadhan, M.Si (Mahasiswa Doktoral - Uludağ University)

Clingiendael (2016) sebuah lembaga riset Hubungan Internasional di Belanda merilis laporan tentang Great Powers and Sustainability yang mengamati konstelasi politik antar great powers (negara adidaya). Mereka berpendapat dari 4 aktor negara di dunia antara lain Amerika Serikat, Rusia, Cina dan Uni Eropa, hanya Amerika Serikat yang memiliki posisi spesial yang memiliki kuasa untuk memainkan leading security role di berbagai kawasan dunia. Uni Eropa saat ini sibuk dengan masalah Brexit atau keluarnya Britania Raya dari Uni Eropa sejak 2016 sebagaimana yang diberitakan BBC (21/01/2019). Sementara itu Rusia dan Cina berupaya mengkonsolidasikan pengaruh mereka di sekitaran teritorinya, Rusia di Balkan dan Timur Tengah, sedangkan Cina di Asia Timur.

 

Gambar 1.1 Pola Hubungan dan Tensi antar Negara Adidaya menurut teori The Axes

Sumber: Clingendael (2016)

 

Pola relasi antara negara adidaya dalam teori The Axes mengatakan bahwa tensi antar negara tersebut dapat membawa dampak besar pada stabilitas internasional dalam 5 hingga 10 tahun ke depan. Hal ini terbukti dengan munculnya Trade Wars antara Cina dan Amerika Serikat yang menyebabkan krisis nilai mata uang pada 2018. Ditambah ekspansi ekonomi Cina ke beberapa negara berkembang yang dicurigai sebagian pihak sebagai debt trap yang diwartakan oleh Washington Post (27/08/2018). Selain itu, Rusia dengan aliansinya di kawasan juga turut bersitegang dan terlibat dalam beberapa konflik seperti dengan Ukraina di selat Kerch sebagaimana diberitakan The Guardian (28/11/2018) dan juga di Suriah bersama dengan Iran seperti diwartakan New York Times (26/12/2018).

Pergolakan pengaruh antar negara tidak lepas dari figur pemimpin dan pengendali kuasa dalam suatu teori. Apa yang ada di dalam pikiran mereka dan bagaimana interaksi dilakukan dengan para ‘pembisik’ akan menentukan kebijakan yang dikeluarkan sebuah negara. Kebijakan tersebut dianggap sebagai sikap atau aksi yang memunculkan reaksi bagi negara lainnya.

Thomas Hobbes (1651) menuliskan bahwa negara atau persemakmuran merupakan buatan manusia yang memiliki kekuatan melebihi alam disebut sebagai Leviathan. Leviathan dalam Kitab Injil Perjanjian Lama bab 1 Kejadian ayat 20-23 merupakan seekor monster laut raksasa yang berkuasa atas samudra sehingga semua makhluk yang berada disana tunduk kepadanya. Sedangkan dalam alam fikir Hobbes, Leviathan merupakan representasi dari sebuah lembaga yang dibentuk oleh sekumpulan manusia untuk menguasai atau mengakuisisi sebagian wilayah agar bisa ia kelola dan manfaatkan demi kepentingannya.

Akan tetapi, sebesar apapun negara tersebut ia tetap merupakan produk hasil interaksi dan rekayasa manusia. Manusia-lah pengendalinya dan penentu baik buruknya negara atas pengelolaannya. Kedaulatan atau sovereignty sebuah negara merupakan artificial soul yang memberikan hidup serta kemampuan gerak kepada seluruh bagian tubuh dan solus populi (keselamatan masyarakat) adalah kepentingan utama dari keberadaan sebuah negara berdaulat (Hobbes, 1965).

Ketika membawa konteks Leviathan ke dalam interaksi antar negara di dunia, terlihat jelas bahwa masing-masing negara mempertahankan kepentingan mereka dengan berbagai cara. Seperti yang Amerika Serikat lakukan dengan mengeluarkan kebijakan Muslim Ban, mengakui Jerussalem sebagai ibukota Israel dan menarik pasukan dari Suriah. Kebijakan tersebut banyak didasari oleh alasan perlindungan terhadap kepentingan masyarakatnya.

Kebijakan Muslim Ban dan penghentian masuknya refugee Suriah ke Amerika adalah upaya negara melindungi penduduk aslinya dari instabilitas kondisi sosial karena munculnya pendatang. Lalu mengakui Jerussalem sebagai ibukota Israel adalah janji politik Trump dan merupakan usahanya melindungi kerjasama strategis dengan Israel. Dalam hal ini, penduduk Israel dan Yahudi Amerika adalah bagian penting dari pembangunan Amerika Serikat. Juga penarikan pasukan dari Suriah dengan alasan telah memenangi perang melawan ISIS dan sudah saatnya pasukannya kembali dengan selamat kepada keluarganya. Namun sayangnya, hampir setiap kebijakan yang Amerika ambil selalu mengganggu, bahkan bertentangan dengan negara lain atau komunitas tertentu. Hal ini tentu memunculkan konstelasi politik dunia yang sangat dinamis, terlebih jika kebijakan yang diambil merupakan kebijakan yang ekstrim. Seperti yang Presiden Trump lakukan, walau juga menimbulkan kekisruhan domestik Amerika Serikat sebagai respon kebijakannya.

 

Amerika Serikat dalam hal hubungan internasional adalah Leviathan yang cukup digdaya memangsa atau membantu negara lain. Sayangnya, predator itu tidak sendiri. Masih ada predator-predator lain yang menjadi subjek atau pelaku dalam hubungan internasional yang juga berebut pengaruh demi mencapai kepentingannya. Ada yang caranya terang, ada yang caranya tersirat. Di sisi lain, terdapat juga negara-negara yang hanya menjadi objek dari perebutan pengaruh tersebut.Bersambung. []


Tags: politik , islam
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori : opini

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website